Minggu, 18 Juni 2023

Mbak Editor dan Film Hati Suhita

 

 

Tidak sedikit yang kerap melontarkan pertanyaan kepada saya secara pribadi, perihal respons saya terhadap naik layarnya Hati Suhita ke layar perak. Rata-rata yang bertanya demikian telah mengetahui bahwa saya adalah editor dari novel tersebut dan dilibatkan pula dalam proses editing naskah skenario, baik untuk film maupun serialnya. Sebenarnya ‘sejauh mana’ keterlibatan seorang editor naskah dalam konteks film Hati Suhita ini? Kira-kira demikian poin pertanyaannya.

 

Saya lupa persisnya kapan dimulai obrolan antara saya dan Khilma terkait film yang lalu saya dilibatkan dalam proses yang diawali dengan proofreading bersama. Yang pasti jaraknya relatif lama antara ‘penggodokan’ naskah meliputi pembacaan lalu editing dan dimulainya eksekusi di lapangan (proses syuting). Diawali dengan naskah skenario film terlebih dulu―kala itu belum kenal dan tahu siapa Alim Sudio si penulis skenario ini. Kami (saya dan Khilma) hanya fokus saja terhadap naskah skenario. Ketika naskah itu dinyatakan selesai, rupanya beberapa waktu kemudian ada ‘pembaruan’ untuk naskah film, sekaligus diserahkan pula naskah untuk produksi serialnya.

 

Proses membaca dan mengedit naskah terhitung tidak begitu lama dibandingkan dengan waktu ketika menggarap naskah film ini untuk pertama kalinya (kalau tidak keliru pada masa awal pandemi). Biasanya pada saat kami berdiskusi dalam format zoom, agak memakan waktu cukup lama, hingga berjam-jam. Terkadang muncul rasa lelah dan ngantuk di ujung waktu. Barangkali karena belum terbiasa. Terakhir yang saya ingat adalah bulan Juni 2022 semua pekerjaan terkait naskah skenario dinyatakan “selesai”. Lalu Agustus baru mulai eksekusi pengambilan syuting.

 

Lalu, apakah ada bedanya kerja editing naskah novel dan naskah skenario film?

 

Sekilas tampak tidak ada bedanya, lantaran ‘induk cerita’ adalah satu, yakni kisah tentang Alina Suhita (tentang proses kerja editing naskah novel itu, pernah saya tuliskan dua tahun silam, dipublikasikan pertama kali di situs sabak.or.id *). Akan tetapi, ketika ditilik ke dalam, jelas ada yang beda, baik dari segi teknis maupun alur cerita. Di dalam naskah skenario film terdapat beberapa scene atau penggambaran adegan dengan alur cerita yang ditambahi atau dikurangi. Ditambahi, bahwa di novel tidak ada, namun di film diadakan. Dikurangi, bahwa di novel ada, namun tidak disertakan ke dalam cerita film. Semuanya dilakukan semata sebagai “improvisasi” ketika mengadaptasi novel ke film dengan tujuan agar sekurangnya cerita menjadi ‘lebih hidup’ ketika diadegankan. Hanya saja tetap ada hal pakem yang tidak boleh ditanggalkan dari kisah di novel, yakni poin-poin utama, berikut logika yang sudah terbangun tegak di sana. Salah satu contohnya adalah kisah berakhir dengan happy ending.

 

Hal lain yang saya rasakan selama proses membaca draft skenario kemudian mengeditnya adalah dengan mencoba “hanyut ke dalam naskah”, mempraktikkan cara pengucapan dengan suara berikut gestur fisik. Bagi teman-teman pegiat teater pastinya paham dan sudah selesai pada babagan begini. Namun, bagi saya tentu saja sulit karena latar belakang saya bukan seni peran, saya hanya pembaca yang terbiasa mengindera dalam laku diam dan hening. Di sesi diskusi antara saya dan Khilma, poin-poin begini kadang cukup memakan waktu. Mencari-cari ‘ide yang pas’ untuk diletakkan ke tubuh naskah. Di sana termasuk mengoreksi gugusan kata dan kalimat yang telah disusun oleh si penulis naskah skenario (Alim Sudio). Singkat cerita, ketika dirasa ‘cukup’, maka naskah skenario itu pun “di-lock” oleh produser. Tugas saya selesai.

Pertanyaan berikutnya yang barangkali muncul adalah bagian mana saja buah pikiran saya ada di dalam naskah itu atau berapa persen? Saya tidak mengingat persisnya. Namun bagi sekalian Anda yang telah menyaksikan film itu, jika teringat dalam adegan ada anasir-anasir dari khasanah pesantren dan isu kesetaraan gender, bisa diperkirakan di situ saya ada berkontribusi. Misalnya amtsilatut tashrifiyyah (pedoman tatabahasa Arab di pondok pesantren). Memang sempat ‘menuai debat’ antara saya dan Khilma, terutama kekhawatiran jika nanti para cast-nya tidak mampu mengucapkan dengan fasih atau menyelesaikan dialog dengan baik. Saya ingat waktu itu saya menjawab, “itu tanggung jawab sutradara mengarahkan cast-nya”. Sependek pikiran saya waktu itu hanya “kapan lagi ada kesempatan membawa anasir kepesantrenan ke dalam sinema Indonesia?”. Uhukkk!

 

Di kesempatan tulisan ini, tentu saja saya tidak bisa membuka sekian “rahasia dapur” dari proses dan dinamika selama pembuatan film Hati Suhita. Lalu adakah catatan dari Mbak Editor sendiri terhadap film itu? Ya, tentu saja ada! Namun sebagian besar sudah masuk dalam “dinamika & dialektika” antara saya dan Khilma selama proses itu berjalan, bahkan hingga detik terakhir film itu “dibungkus” untuk kemudian disajikan ke khalayak. Dari banyak kritikan, tanggapan, dan masukan yang sempat saya baca di linimasa oleh banyak sekali netizen yang budiman, semuanya sudah lebih dulu ada dalam catatan saya. Karenanya, saya tidak kaget dengan dengungan keriuhan itu. Sejak awal saya sudah menandai bahwa pada bagian ini dan bagian itu pasti akan menuai “respons” penonton. Ya itulah dinamisasi linimasa kita bersebab tontonan publik. Tidak ada yang bisa dibendung. Saya hanya menyediakan diri sebagai optik, untuk melihat spektrum itu syukur-syukur bisa lebih luas dan jelas. Segala hal ihwal tentangnya tentu saja menjadi teropong yang bagus, khususnya bagi pihak produser dan sutradara, untuk ke depan lebih “rapi & disiplin” dalam mengerjakan sebuah karya.

 

Akhirul kalam dalam tulisan singkat ini saya sangat ingin menyampaikan terima kasih tidak terhingga atas riuh respons para netizen yang budiman yang telah menyaksikan film tersebut, berikut segala kritik dan masukan. Juga, saya ingin sampaikan rasa haru dalam untaian rasa terima kasih saya untuk euphoria yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan muncul dari para penonton di seluruh penjuru. Kekuatan koordinasi dan negosisasi terutama para perempuan di mana-mana untuk bisa “merangsek masuk ke bioskop” sungguh fenomenal, terutama dari kalangan nahdhiyyin, baik struktural maupun kultural. Bisa jadi mayoritas dari mereka baru pertama kali menyambangi bioskop. Hal ini memantik dejavu saya ketika novel HS muncul di awal-awal dulu, mereka yang membaca tidak sedikit yang mengaku baru terpantik suka membaca ketika ada novel itu. Tidak sedikit yang mengaku bahwa sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah membaca, termasuk membaca novel. Bagaimana naskah novel itu secara berantai mereka bagi-bagikan secara suka cita dan suka rela, melalui platform apa saja yang terjangkau oleh mereka. Bahkan, hari ketika mereka menonton ke bioskop itu mereka tahbiskan sebagai “Hari Bapak-Bapak Momong Anak Sedunia”, lantaran mayoritas dari para emak itu harus meninggalkan anak-anak mereka demi untuk masuk bioskop nonton Hati Suhita. Saya terharu ketika mendengar cerita riuh dari mereka yang kebingungan “Gimana caranya ke bioskop? Gimana caranya beli tiket? Gimana caranya masuk mall yang ada bioskopnya, gimana cara parkir motor/mobil di mall? Gimana caranya ke toilet dan musala?”. Ya, itulah lanskap sosial Suhita effect yang terekam di benak saya.

 

Terima kasih, Khilma. Terima kasih pembaca novel Hati Suhita. Terima kasih penonton film Hati Suhita. Terima kasih, para pecinta Hati Suhita. Terima kasih, Starvision. Terima kasih seluruh tim dan crew film Hati Suhita.

 

Mohon maaf jika saya punya andil dengan ‘tidak berhasil menyuguhkan yang terbaik’. Mohon maaf jika saya tidak merespons apa yang tidak perlu saya respons. Sampai jumpa di sinema-sinema berikutnya. Yang belum nonton filmnya: AYO BURUAN NONTON!

 

Pogung Kidul Yogyakarta, 5 Juni 2023

https://sabak.or.id/sundari/esai/bagaimana-proses-persalinan-novel-hati-suhita-bag-1/ , https://sabak.or.id/sundari/esai/ruang-baca-pembaca-hati-suhita-bag-2/ , https://sabak.or.id/sundari/esai/hati-suhita-penanda-kebangkitan-sastra-pesantren-bag-3-selesai/ .

 

 

Selasa, 28 Februari 2023

BIANGLALA

 

Malam menggantung pucat di puncak pekat. Begitu kecil begitu sipit cahaya tercurah dari arah bulan sabit, menyirami  jalan setapak menuju pondok, sedikit-sedikit. Dari arah selatan, kesiur angin laut menampar wajah seorang remaja perempuan, mencubit-cubit kulitnya hingga merekahkan gigil. Hendak ia percepat langkahnya saat melewati samping kiri tanah kebun luas yang ditanami rimbun pohon singkong Sumatera. Daun singkong kecil-kecil sesaat melambai dikecup angin, terlihat seperti bayangan tak bernama bergoyang-goyang di matanya. Ingatannya tiba-tiba ngilu. Tak ada lampu penerangan menuntunnya kecuali seonggok bulan sabit.

Di kesunyian dusun yang harus menempuh 35 km untuk sampai ke kota kecamatan, seorang remaja perempuan bergegas percepat langkahnya. Seorang diri menyusuri kelokan jalan setapak tak beraspal di bawah bukit. Ia mendekap sebuah tas tak jelas warnanya. Sesekali kerudungnya berkibar-kibar dicandai angin dari tubuhnya yang setengah berlari ringan.

Sebuah pondok dengan penerangan lampu minyak mulai redup di ujung dusun menjadi tujuan sang remaja perempuan itu. Ia pelankan gerak tubuhnya begitu memasuki pekarangan tanah di depan pondok. Dengan kaki bersijingkat hati-hati ia ketuk pelan pintu rumah. Lalu beruluk salam. Sesosok kepala berkerudung sulaman bunga warna kuning menyembul dari balik daun pintu setengah terbuka, menjawab salam, dan mengulurkan tangan. Sang tamu mencium punggung tangan itu lantas mengikuti langkah tuan rumah.

“Jadi kamu sudah bulat tekad, Nduk?”, Nyai Sarah bertanya setelah sebelumnya didahului basa-basi sebentar, sembari mengangsurkan secangkir kopi ke hadapan tamunya.

“InsyaAllah, Lala sudah nawaitu, Nyai”, dijawabnya pendek berikut senyuman kecil.

“Apa orang tuamu sudah setuju?”

“Bapak mengijinkan, sedang Ibu tidak. Tapi saya tetap kekeuh dengan niat saya ini, Nyai..” sedikit gugup Lala menyeruput kopi dalam genggaman tangan kanannya. Di bawah sinar lampu temaram, dua orang perempuan beda usia duduk bersimpuh memilih jeda pembicaraan. Di luar, angin bertiup makin kencang. Ini musim kering, saban malam hari angin tak henti-hentinya menghentak-hentakkan dingin. Suara ranting pohon jeruk Bali di sisi kiri depan beranda pondok terdengar patah dan jatuh ke tanah. Tak ada percakapan panjang setelah itu. Sunyi. Jeda pembicaraan mengantar pikiran masing-masing. Sejurus kemudian Nyai Sarah mempersilakan Lala masuk untuk beristirahat di kamar.

Di belakang rumah utama tampak beberapa bilik kecil berbentuk rumah panggung kayu dengan pondasi sekotak batu limasan. Bangunan pondok pesantren salaf milik Nyai Sarah. Masing-masing terdiri dari empat buah batu sebesar helm pengendara motor dewasa untuk menyangga sepetak bilik yang dihuni kurang dari enam orang santri putri. Nyai Sarah memang hanya memiliki santri mukim, kurang dari duapuluh saja jumlahnya. Semuanya perempuan. Barangkali lantaran suara angin begitu kencang di luar, aktivitas mendaras Al-Quran yang sudah menjadi tradisi di dalam bilik masing-masing itu menjadi tak terdengar. Lala berusaha menajamkan pendengaran demi memastikan ada tidaknya suara-suara dari seberang luar kamar yang ia tempati sekarang, namun tak berhasil ia dengar sesuara selain hempasan angin berkali-kali. Matanya tak henti-hentinya berkedip cepat. Gerakan tangan beserta tubuhnya pun mulai tak stabil. Ada kecemasan yang menyala di sudut keningnya.

 

*****

 

Bianglala, nama lengkap gadis itu. Seorang gadis remaja yang tengah risau. Simpangan jalan hidup hendak ditempuhnya. Ia menamatkan SMA-nya di perantauan. Di kota sejuta cerita para pelajar itu ia mengenyam pendidikan cukup mapan dan tinggal di sebuah asrama modern. Tak ada yang luar biasa dari kisahnya sebagai pelajar. Belajar rajin, meraih prestasi yang stabil, dan menggondol selembar ijasah kelulusan dengan hasil sangat memuaskan. Modal yang lebih dari cukup untuk menapak jenjang selanjutnya.

Suara pintu kamar diketuk mengagetkan dirinya. Nyai Sarah masuk pelan menyodorkan selimut tebal. “Tidurlah, sebelum Subuh nanti kau harus sudah bangun. Amalan pertama akan kau lakukan nanti”, suara datar Nyai Sarah diikuti anggukan kepala Lala. Gadis itu mematung sesaat setelah pemilik rumah keluar kamar dan menutup pintu dengan tersenyum.

Lala rebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Nyala pelita di atas meja ujung kamar meredup, bergoyang-goyang memantulkan bayangan kelambu di dinding. Ia teringat perdebatan sengit dengan ibunya sebelum ia berangkat menuju pondok ini.

“Ibu tidak ijinkan kamu ke sana. Kamu harus lanjut  kuliah”, terngiang suara ibunya berapi-api.

“Tidak, Bu. Ini sudah keputusan Lala. Lala ingin berkonsentrasi mendalami agama. Mendalami suluk. Tarekat. Hanya di pondok Nyai Sarah tempat yang pas untuk Lala”, santun Lala mencoba menjawab.

“Sebaiknya biarkan saja Lala memilih, Bu. Toh itu juga belajar namanya. Belajar kan tidak harus di perguruan tinggi. Sudah bagus anak kita berniat mendalami agama”, Bapak menimpali.

“Bu, Lala tetap akan ke sana. Ini terasa seperti panggilan jiwa. Susah sekali Lala mengelaknya. Yakinlah Ibu, keputusan ini akan membuat hati Lala tenang. Aduhai, Ibu restuilah..”

“Tidak! Pokoknya Ibu tidak setuju!” suara ibunya meninggi. Bapaknya terdiam. Tak berdaya menengahi. Dua perempuan terkasihnya sama-sama keras kepala.

Lala menegarkan diri. Tidak menangis. Ia mencoba memahami. Harapan ibunya agar ia menyandang gelar sarjana begitu tinggi. Apalagi ia merupakan anak semata wayang. Namun ia tidak berminat sama sekali. Atau mungkin hanya belum.

Semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Pertengahan tahun sebelum ia selesaikan sekolah menengah atas, Lala merasakan sesuatu tengah melanda dirinya. Di dalam batinnya. Tak tahu bagaimana ia katakan istilahnya. Lala hanya merasakan hatinya sejuk, hilang semua murung, dan merasa intim akan kehadiran Tuhan dalam dirinya secara tiba-tiba. Gadis itu merasa seakan ada pusaran gaib di dalam jiwanya yang membuatnya tenang, indah, dan bahagia. Ia tergugu dan menangis berhari-hari. Ia merasa sendiri. Merasa hanya ia yang mengalami. Tanpa menemu jawaban dari sekian tanya, Lala kelimpungan sendiri. Hingga suatu hari ia ceritakan kepada guru ngajinya.

“Sepertinya kamu tengah mengalami ekstase dalam perjalanan imanmu. Jika kamu kuat menghadapinya, kamu tak boleh berhenti di sini saja. Kamu harus mencari jalan ke sana”

“Maksud Ibu jalan apa? Bagaimana?”

“Jalan tarekat. Tapi tidak mudah. Butuh teguh dan niat yang kuat. Tapi ibu yakin kamu mampu, La..”

 

 

*****

 

 

Sejak itu, Lala kerap menemui Nyai Sarah sebagaimana arahan sang guru. Nyai Sarah, sosok perempuan paruh baya nan sederhana itu telah memikat hati Lala sejak kali pertama bertemu. Tutur kata sopan dan lembut mengajak dirinya hanyut. Bianglala penasaran, mengapa perempuan sehebat Nyai Sarah yang baginya memiliki magnet spiritual luar biasa itu bisa jauh dari penglihatan orang-orang? Mengapa di lereng bukit terpencil sebuah dusun tak jauh dari sebuah teluk kecil pinggir laut, berikut keelokan pantai yang belum terjamah nalar kapitalis perancang destinasi wisata, ia musti bertempat tinggal? Sungguh, sebuah tempat yang jauh sekali dari hiruk-pikuk manusia pemburu modernitas. Bahkan, listrik pun tak ada. Sungguh, Lala merasakan ia berada di tempat yang nyaris tak pernah terjangkau oleh otaknya selama ini, yang kelewat lama menyatu dengan dunia kota. Kehadirannya di tempat ini pun tak mudah, lantaran akses transportasi yang tidak memadai. Lala harus menghitung dan memastikan dengan cermat berapa waktu dan seberapa aman perjalanan mesti ia tempuh. Sebuah perjalanan travelling yang tidak biasa. Dan ia tempuh seorang diri.

“Saya tidak mengerti apa yang tengah terjadi pada diri saya, Nyai. Hati saya kebat-kebit, bingung. Inginnya nangis terus tapi tidak tahu mengapa dan untuk apa saya nangis. Pengennya menyendiri saja. Nggak ingin pergi main sama teman-teman”, kisah Lala waktu pertama bertamu ke Nyai Sarah. Yang duduk di depan Lala hanya melempar senyum bijak. Gadis remaja yang pemberani, pikirnya. Tanpa sungkan bercerita tentang pribadi kepada orang yang baru dikenalnya. Nyai Sarah menatap lekat ke wajah gadis itu. Menyapu ke seluruh bagian paras cantiknya. Seakan-akan ada yang hendak ia pastikan dari pemandangan di depannya. Ia mengenali beberapa garis yang tergurat dari gadis itu. Nyai Sarah bahagia ketika pada detik-detik tertentu mereka bersitatap, ia rasakan ada kesamaan yang juga ia miliki dari penampakan ayu di depannya. Perempuan itu seolah melihat lipatan dirinya ada di dalam  diri seorang Lala.

“Itu namanya takdir orang hidup, Nduk. Garis jalan hidup yang mesti dilalui. Dulu Ibu juga pernah mengalami sepertimu. Hanya saja Ibu membiarkannya dan segera lupa”

“Trus saya mesti gimana, Nyai?”

“Jalani saja. Ketahuilah, bahwa kamu mendapatkan cahaya petunjuk dari Tuhan. Hati kamu bersih, Nduk. Maka cahaya itu mudah merasuk ke dalam dirimu. Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjaganya agar jangan sampai hilang.  Dekatkanlah senantiasa dirimu kepada-Nya. Ingatlah Tuhan di setiap detik napasmu.”

“Rasanya Lala sudah melakukan itu semua, Nyai. Tapi mengapa hati Lala masih rusuh begini?”

“Butuh waktu. Butuh berdamai dengan dirimu sendiri. Kamu masih teramat muda. Jangan menyerah untuk belajar dan mencari tahu. Begitu juga dengan caramu mendekatkan diri kepada Tuhan. Lakukanlah sembahyang lebih khusyu’ dari yang sudah-sudah. Dini hari, pada saat sepertiga malam, gunakan untuk sembahyang. Berdialoglah dengan dirimu sendiri, hakikatnya kamu sedang berdialog dengan Tuhan”

 

 

*****

 

Percakapan demi percakapan mengalir biasa antara Lala dan Nyai Sarah. Tampaknya, perempuan paruh baya pemilik pesantren itu memahami gejolak muda Bianglala. Segala pertanyaan diterimanya dengan suka hati. Terkadang dijawab, terkadang hanya cukup mengulum senyum. Gadis itu kian bertambah penasaran. Baru kali ini ia bersinggungan dengan ‘guru spiritual’ secara lebih intens. Namun ia sejatinya tak paham mengapa ia berguru ke sana. Berguru kepada Nyai Sarah. Bukan kepada  Kyai atau guru laki-laki yang lain.

Bianglala diam-diam takjub sendiri. “Mungkin ini yang namanya diperjalankan Tuhan. Mungkin Nabi Muhammad dulu juga mengalami peristiwa batin sepertiku ini”, gumam Lala. Gadis itu membayangkan Nabi ketika berada di Gua Hira. “Pastinya menggigil sepertiku. Pasti Nabi mengalami kebingungan sepertiku, atau bahkan lebih hebat dariku, meski aku merasa hampir gila”.

Kali ini ia teringat Bu Santi, guru ngajinya di sekolah. Sebenarnya tidak begitu berbeda dengan Nyai Sarah, hanya saja ia seorang guru yang mengajar di sekolah formal dan tidak memiliki pesantren maupun santri. Dari guru di sekolahnya itu Lala menimba ilmu pengetahuan tentang agama. Sesuatu yang membuatnya adem dan betah adalah Bu Santi sangat ramah. Mengajarinya, juga murid-murid lain di sekolahnya dengan ajaran dan ujaran yang menurutnya menentramkan. Tidak pernah sedikit pun menyulutkan kebencian terhadap orang atau kelompok lain. Selalu mengajarkan menghormati sesama dan tidak merasa benar sendiri. Lala selalu kagum dengan sikap-sikap seperti itu. Bukankah agama semestinya memang mengajarkan hal demikian?

Dari Bu Santi pula Lala beroleh penjelasan utuh bahwa kedudukan laki-laki dan  perempuan adalah setara. Termasuk juga di dunia sufi, laki-laki dan perempuan bermartabat sama. Hanya derajat amal kebaikan yang membedakan. Tak hanya pada saat pelajaran di sekolah yang membuat Lala kian memahami hebatnya Bu Santi. Di luar kelas, pun.

Alkisah, kepiawaian Lala yang fasih dan merdu melantunkan ayat-ayat suci dalam perlombaan qiro’ah mengantarkannya pada juara satu di sekolah dan berhak mewakili maju ke tingkat selanjutnya, bersaing dengan sekolah lain. Namun, secara sepihak sekolah menggugurkan kesepakatan itu dengan alasan yang tidak begitu jelas. Konon, usut punya usut, sekolah menunjuk sang juara dua, seorang murid laki-laki untuk maju mewakili sekolah. Alasannya, Lala seorang perempuan. Suara Lala adalah aurat, tak boleh dipertontonkan di depan umum. Lala marah bukan main kala itu, lalu apa gunanya menggelar kompetisi di sekolah jika hanya akan berakhir seperti itu? Lala mengadu ke Bu Santi. Keduanya lalu bersama memprotes keputusan pihak sekolah, lalu digelarlah sebuah rapat tertutup. Kendati mereka berdua kalah suara, namun Lala jadi kian paham bahwa ia berada di pihak yang benar sementara dunia tidak adil kepadanya. Hal itu ia ketahui dari argumen-argumen yang meluncur dari mulut Bu Santi. Luar biasa, batin Lala.

Lala kerap dibuat kagum dengan kisah-kisah yang meluncur dari mulut Bu Santi. Terutama kisah tentang perempuan-perempuan hebat pada jaman dahulu. Tak disadarinya kadang, ia terobsesi meniru mereka. Gejolak remajanya mudah meluap-luap, tatkala kisah Aisyah istri Nabi yang hebat dalam menyusun strategi peperangan, diudarkan kepadanya. Kendati Lala tak menyukai kekerasan apalagi peperangan, ia begitu menyukai gaya perempuan ketika masuk ke medan perang. Apalagi jika menunggang kuda. Gambaran tentang gagahnya seorang perempuan yang tubuhnya terguncang-guncang di atas pelana sambil pegang kendali tali kekang, serta mengacungkan tombak atau pedang adalah pemandangan yang sangat sedap di jangkauan kelopak matanya, sebagaimana pernah ia lihat di film-film. Seketika, ingatannya melayang ke sosok Nyi Ageng Serang, pahlawan nasional penunggang kuda yang kesohor dalam soal atur siasat perang. Lala sering kali tak habis pikir, perempuan-perempuan hebat sepanjang sejarah itu mengapa kini seakan senyap dari perbincangan?

 

 

 

*****

 

Bianglala nyaris tak mampu memejamkan matanya. Kepingan-kepingan ingatan yang pernah ia salin satu-satu, kini berjumpalitan muncul. Hilir mudik tak menentu menyesaki pikirannya. Suara angin kencang di luar berubah menjadi kesiur rendah. Lala lelah. Lala resah. Teringat ibunya di rumah. Sebenarnya tidak sekali dua ia pernah kisahkan pertemuan demi pertemuan di pondok Nyai Sarah itu kepada ibunya. Namun ibunya seperti tak bergeming. Alasan melanjutkan kuliah seakan hanya kedok saja untuk menutupi ketidaksukaannya.

“Yang ibu tahu, seorang pemimpin tarekat seperti mursyid semestinyalah seorang laki-laki, seorang kyai”, ucap ibunya suatu kali.

“Mengapa bisa begitu, Bu?”

“Ya kalau laki-laki kan tidak pernah menstruasi? Jadi ibadahnya kepada Tuhan bisa penuh dan total. Kalau perempuan? Jelas tidak bisa. Setiap ada halangan seperti itu kan jadi tidak beribadah, tidak boleh sholat, ngaji, atau juga puasa”

“Lho, bukankah perempuan menstruasi dan tidak beribadah wajib itu demi mengikuti dan taat pada syariat juga Bu? Aturan Tuhan? Apa itu tidak boleh dikatakan bahwa perempuan pun beribadah dengan situasinya, Bu?”

“ Ya tetap saja kurang itu namanya”

“Lho, bukankah yang tahu kurang tidaknya amalan kita itu hanya Tuhan, Bu?

“Ya pokoknya kalau untuk ukuran menjadi pemimpin tarekat ndak bisa. Kalau memang kamu pengen masuk tarekat ya harus berguru ke kyai! Yang kealimannya sudah terakui!”, ibunya mengakhiri percakapan dengan suara sengit. Bianglala gusar. Bukankah ia hanya ingin belajar? Apanya yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam mengajarinya untuk berdekatan dengan Tuhan?

Bianglala menjadi penyaksi dengan inderanya sendiri, bagaimana kekhusyukan Nyai Sarah beribadah. Merapal dzikir dan wirid. Mengajari santri mengaji. Menyimak setoran hapalan Al-Quran oleh mereka. Lala melihat dalam diri sosok Nyai Sarah menyimpan nuansa batin yang luar biasa lembut. Dan itu yang Lala inginkan selama ini!

“Apa kamu mau menjadi Rabiah Adawiyah? Mana mungkin. Situasinya berbeda, La! Kita hidup di jaman modern. Tak akan bisa kau capai derajat sepertinya! Apalagi hanya berguru dengan Nyai Sarah! Seorang istri yang meminta cerai suami hanya karena nurut kepentingannya sendiri”, kalimat-kalimat nyaring ibunya sekali lagi membuat ingatannya ngilu, hatinya kelu. Menyakitkan nian kalimat terakhir itu. Lala hanya ingin membuktikan bahwa seorang perempuan yang memimpin tarekat pun mampu mendidiknya untuk menyelami jalan iman yang ia rasakan agung sekaligus aneh itu. Memiliki keilmuan mendalam. Penghormatannya kepada manusia sangat besar meski tampaknya ia tak banyak bicara. Lantas apa yang keliru dengan status perkawinannya?

Rabiah Al-Adawiyah tidak menikah. Namun toh itu tak menghalanginya mendharmabaktikan dirinya kepada Tuhan. Ia tak hendak meniru Rabiah atau siapapun. Ia hanya ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Itu saja. Titik. Namun sesuatu merambat pelan di sudut hati Lala, perih dan iba terhadap ibunya. Bagaimana ini? Hatinya ngilu.

Lala beranjak meraih tas yang ia letakkan di atas meja sudut ruang dekat pelita. Ia memutar lingkaran kecil bergerigi di bawah kaca semprong untuk mengatur penerangan, membesarkan nyala api. Perlahan Lala keluarkan isi tasnya. Selembar mukena, sajadah, dan beberapa pakaian, Al-Quran berukuran kecil dan sebuah buku bacaan hadiah dari Bu Santi pada acara kelulusan sekolahnya. Sejenak ia terpaku mengamati sampul buku. Warnanya mulai kusam.

“Kamu hanya perlu membaca isi buku ini untuk luaskan pengetahuanmu”, pesan Bu Santi bernada perintah kepadanya suatu hari. “Nanti kamu akan tahu, bahwa perempuan juga bisa menjadi sosok yang mendalami tarekat sepadan dengan tokoh laki-laki”, Lala menajamkan telinganya. Ia sedikit terperanjat.

“Kurun waktu yang panjang dari sejarah tidak pernah menceritakan ini, Lala. Entahlah, dunia sepertinya sudah berganti wajah dengan cepat. Sebenarnya ada Hamidah binti Sulaiman di Aceh. Ada Ratu Raja Fatimah dan Nyimas Ayu Alimah, keduanya dari Cirebon. Semuanya perempuan sufi nusantara, La. Mungkin terasa asing nama-nama itu di kupingmu. Tapi mereka perempuan hebat”, cerita Bu Santi.

“Kita juga punya Kanjeng Raden Ayu Kilen, garwa pangerembe Hamengku Buwono II dari Yogyakarta. Ada juga Kanjeng Ratu Kadospaten, istri Pangeran Mangkubumi. Ohya, Kanjeng Ratu Kadospaten ini sosok unik, La. Beliau ini punya pengaruh kuat dan memainkan peran penting dalam membentuk spiritualitas mistik Jawa, termasuk seorang tokoh yang memiliki andil bagi spiritualitas Pangeran Diponegoro, satu hal yang kamu pasti akan tertarik dengan hal ini. Kedua tokoh sufi itu ada di sekira awal abad 18 dan 19”, lanjut Bu Santi tersenyum teduh. Kedua mata lala mengerjap-ngerjap takjub. Ingatannya langsung melesat ke jaman kolosal, aih…menunggang kuda!

Kelopak mata Lala kini kembali berkedip-kedip mengingat penuturan guru ngajinya itu. Ia senang mendengar cerita darinya. Ia mencoba menera seperti apa tokoh perempuan sufi dari Yogyakarta itu. Penasaran betul ia dibuatnya. Jika ia memang benar berasal dari lingkungan kraton, alangkah hebat, sekaligus membingungkan. Ia tak paham dunia kraton. Sepanjang yang ia ketahui, budaya kraton tidak mengenal penutup kepala dan hijab seperti yang ia bayangkan pasti dikenakan oleh Rabiah Adawiyah. Lalu, apakah seorang sufi tidak berhijab? Tanda tanya besar menggelayut di pelupuk matanya, sekaligus membuatnya sedikit pusing. Mengapa ia bisa sampai pada pertanyaan seperti itu? Ia tak sempat menanyakan kepada Bu Santi.

Bianglala melirik jam di pergelangan tangan yang belum sempat dilepasnya. Pukul dua dini hari. Akankah ia bisa tidur? Rasanya tidak. Kedua bola matanya masih nyalang. Napasnya menghela sembari menutup buku. Memutar kembali gerigi kecil di pelita, meredupkan nyala apinya. Kembali ke ranjang. Duduk di tubir ia mengusap-usap wajahnya. Ia telah berada di sini. Seperti pesan Nyai Sarah, esok ia mesti bangun sebelum Subuh. Ada ritual tertentu yang  akan ia jalani, entah apa ia tak tahu.

Gadis itu mencoba pejamkan mata sembari bahu ia sandarkan di sisi kayu penyangga ranjang tidurnya. Ia pasrah dan telah berbulat hati akan mengikuti proses di pesantren Nyai Sarah.

 

 

 

*****

 

 

Di bagian kamar lain, Nyai Sarah tengah bersimpuh di lantai. Mukena putih melekat di tubuhnya. Nyala pelita di kamarnya telah diredupkan ke titik nyala paling kecil hingga nyaris padam. Alam pikirnya mengembara menyusuri kelokan-kelokan kenangan yang berbeda. Bulan sabit kian memucat berpendar di langit jauh. Bak sebuah telinga gaib yang berjaga untuk mendengar nyanyian derita. Nyai yang beranjak sepuh itu menggumamkan doa di sudut batin. Hanya ia yang tahu doa apa yang sedang ia langitkan.

Bianglala adalah gadis yang ditunggu-tunggunya. Lebih dari sekadar bahwa ia akan menjadi muridnya. Yang mungkin akan ia pilih kelak untuk mewarisi pesantrennya. Gadis itu nampak memiliki kecerdasan dan keistimewaan batiniah. Ujung batinnya tersentuh-sentuh getaran hebat. Lebih dari itu. Ia sendiri yang menamai gadis itu Bianglala. Tujuh belas tahun silam, ketika gadis itu lahir dari rahimnya.

Bulan sabit di luar jauh kian menggigil. Langit fajar semburat bersih hadir melukis sunyi. Serupa sunyi yang telah mati berkali-kali.

  

Yogyakarta, Juni 2016 

 

Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 90 Tahun 2016